ZMedia Purwodadi

Gempa Cianjur dan Patahan Cugenang: Ketika Alam Bicara, Apakah Kita Mendengarkan?

Daftar Isi
Gempa Cianjur (21 November 2022, M5.6) bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan cermin ketidak siapan Indonesia menghadapi risiko geologi yang terjadi. 



Dengan korban ratusan jiwa, ribuan luka-luka, dan puluhan ribu kehilangan rumah, bencana ini mengungkap kegagalan sistemik dalam mitigasi bencana, meski Indonesia berada di "Cincin Api Pasifik", zona pertemuan 3 lempeng tektonik yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. 


BMKG sendiri menemukan patahan aktif sepanjang 9 km yang tidak terpetakan sebelumnya, padahal melintasi 9 desa di Cianjur. 



Ribuan rumah ternyata dibangun tepat di atas zona rawan ini, akibat dua masalah utama ini yang pertama ialah RTRW yang tidak mengintegrasikan peta risiko geologi, kemudian yang kedua ialah pembangunan yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi jangka pendek dari pada keselamatan warga. 


Fakta ini menunjukkan "kebutaan geologis" yang berbahaya bagaimana mungkin kita membangun permukiman tanpa memahami risiko di bawah tanah? Jika patahan sepenting ini luput dari pemetaan, masih banyak ancaman serupa yang mungkin belum terdeteksi di wilayah lain. 


Tim tidak sekadar memetakan Patahan Cugenang, tetapi melakukan analisis mendalam dengan mempertimbangkan karakteristik tanah dan jarak darititik pusat gempa untuk menentukan zona risiko, Skala dampak gempa untuk mengukur dampak dari getaran di permukaan, serta Percepatan Tanah Maksimum guna menilai potensi kerusakan struktural. 

Pendekatan multidisiplin ini membuktikan bahwa mitigasi bencana harus didasarkan pada data ilmiah dan kajian teknis, bukan sekadar respon darurat yang bersifat reaktif. Rekomendasi dari BMKG menjadi pondasi penting bagi relokasi warga yang tepat sasaran, memastikan pemukiman baru benar-benar aman dari ancaman gempa di masa depan.


Mitigasi bencana yang efektif memerlukan kerja sama dari seluruh komponen masyarakat maupun dalam pendidikan. Pendidikan kebencanaan juga harus dikolaborasikan dalam kurikulum sekolah dan disertai kepelatihan dari guru sebagai instruktur kesiapsiagaan. 


Kemudian masyarakat juga perlu memahami tanda-tanda geologis seperti retakan tanah atau perubahan muka air sumur. Media juga berperan vital sebagai penyampai edukasi mitigasi yang akurat, bukan sekadar pemberitaan sensasional saja. 




Sistem peringatan dini harus didukung denagan simulasi rutin di tingkat desa/kelurahan dengan tepat. Dengan pendekatan menyeluruh ini, dari pelajar hingga aparat desa, dengan ini dapat menjadi garda terdepan dalam meminimalisir korban saat bencana alam terjadi.



Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di daerah rawan gempa, diperlukan reformasi kebijakan yang konkret. Langkah pertama dengan revisi mendasar terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Oleh karena itu, penting untuk menggunakan menggunakan peta mikrozonasi seismik saat merencakan pembangunan, dan melarang sepenuhnya pembangunan di atas zona patahan aktif. 


Kedua, pemerintah perlu menerapkan sistem insentif bagi daerah yang konsisten menerapkan standar bangunan tahan gempa, sekaligus menegakkan sanksi tegas berupa denda tinggi atau pencabutan izin bagi pelanggar peraturan tata ruang berbasis risiko. 


Ketiga, penting dibangun kolaborasi riset berkelanjutan antara pemerintah, perguruan tinggi, dan ahli geologi untuk pemantauan real-time patahan aktif dan pengembangan basis data geologi nasional yang terpadu. Kebijakan-kebijakan ini harus dilaksanakan secara konsisten untuk memutus mata rantai pembangunan buta risiko yang selama ini mengorbankan keselamatan masyarakat.



Gempa Cianjur 2022 harus menjadi momentum perubahan dalam manajemen bencana di Indonesia. Sebagai negara yang terletak di ring of fire, bencana geologi memang tak terhindarkan, tetapi skala kerusakannya dapat dikendalikan melalui tiga strategi kunci: mitigasi berbasis sains, edukasi kebencanaan, dan penegakan kebijakan tata ruang yang ketat. 

Esensinya terletak pada perubahan paradigma - dari reaktif menjadi preventif, dengan mengalihkan fokus dari rehabilitasi pasca bencana menuju investasi jangka panjang dalam pemetaan risiko, konstruksi aman, dan pemberdayaan masyarakat. 


Pesan intinya jelas: meski gempa tak bisa dicegah, Dampak besarnya dapat diminimalisir melalui kesiapsiagaan sistematis. 
Tragedi Cianjur adalah panggilan untuk bertindak membangun ketangguhan nasional yang menyeluruh terhadap ancaman geologi yang pasti akan terjadi dimanapun dan kapanpun kepada siapa saja.





Artikel ini ditulis oleh : 
Nama : Cindy Dwi Maulidiyah

Mahasiswa Semester 2

Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial 

Fakultas Ilmu Pengetahaun Sosial 

Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon